Senin, 23 April 2012

Hantu itu Bernama UN

Posted by WAHYUDIN ANTON On 06.36 5 comments

Pagi ini mentari cerah bersanding dengan angin sejuk, dua makhluk Allah yang sedari tadi tersenyum menemani di bawah rindangnya pohon samping rumahku. Aku memainkan jemariku diatas keybord sambil mencoba memutar otak untuk bernostalgia ke beberapa tahun silam tepatnya disaat aku sedang berhadapan dengan Ujian Akhir Nasional (UAN). Berhadapan dengan UAN merupakan saat-saat yang paling mendebarkan sepanjang hidupku kala itu.
Bukan berlebihan ketika aku menyebut itu sebagai momentum yang “syakral” dengan posisi sebagai seorang pelajar. Bagaimana tidak selama 14 tahun duduk di bangku sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan kelas III SLTA (sekarang berubah nama menjadi kelas XII)  akan dtentukan hanya selama 3 hari bersama 3 Mata Pelajaran berbeda yaitu Matematika, Bahasa Inggris, dan Ekonomi (untuk jurusan IPS).
Aku juga menyebut UAN tidak lebih sebagai gerbang untuk masuk kedunia pendidikan yang sesungguhnya karena ketika Aku bisa membukannya maka Aku akan menemukan hal baru yang belum pernah  Aku ketahui sebelunya, tapi jika tidak bisa membukanya maka itu berarti Aku gagal untuk mendapatkan sensasi baru dalam dunia pendidikan.
Berangkat dari sana kemudian Aku berasumsi bahwa UAN sangat menentukan keberlangsungan estafet pendidikanku karena jika seandainya salah satu dari 3 Mata Pelajaran  ada yang kurang dari nilai standar yaitu 4,25 (Nilai standar UAN Episodeku) maka Aku akan dinyatakan sebagai pelajar yang Tidak Lulus UAN, jika tidak lulus berarti tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi dan itu artinya proses belajar formalku terpaksa harus “The End” sampai disitu.
Semua itu belum termasuk sanksi moral yang akan Aku terima jika seandainya tidak lulus UAN, maka berbagai macam ketakutan seakan menjadi hantu seram yang setiap saat menyertai. Bagaimana nanti Ibu-Bapakku?, saudara-saudaraku?, tetanggaku?, teman-temanku? dan bahkan Dunia tentang Aku?. Perasaan inilah yang mungkin juga  di rasakan oleh jutaan pelajar lain yang terkena dampak dari kebijakan tak berpihak ini.
Teringat betul bagaimana ketika Aku pertamakali masuk kelas untuk mengikuti UAN. Aku galau,,,,, gelisah,,,,, kesal,,,,, bahkan sempat berfikir bahwa UAN hanyalah produk dari sebuah kebijakan yang sama sekali tidak menjunjung tinggi nilai keadilan, kenapa Ujian Akhir semacam ini tidak didasarkan pada minat dan bakat dari masing-masing Pelajar?, sederhananya Aku dan siapapun yang membaca surat Curhat ini pasti punya kelebihan dan kekurangan yang tidak sama tapi kenapa kemudian dititik evaluasi kita di paksa untuk masuk kedalam “kamar” yang sama?.... standar kelulusan yang ditetapkan juga “dipukul” rata, sedangkan kuwalitas sekolah di Indonesia??!!!.....
Hhhmmmmm,,,,,,,,….
Sangat belum bisa dikatakan sama.
Berontak tapi tak bisa berbuat banyak adalah gambaran keadaanku waktu itu, tapi   Alhamdulillah begitu pengumunan kelulusan datang akhirnya Aku dan semua teman-teman sekelasku dinyatakan sebagai peserta Ujian yang “Lulus” UAN. Jujur Aku tak menghiraukan nilaiku, yang aku rasakan hanyalah senang dan bersyukur karena akhirya Aku dan tema-temanku bisa keluar dari “Jebakan” UAN.
Aku senang tapi juga miris bagaimana tidak belum lama setelah hari pengumuman kelulusan berbagai media memunculkan kabar yang bagiku sangat memilukan. UAN mengakibatkan banyak pelajar yang (maaf) Tidak Lulus merasakan trauma dahsyat mulai yang shock sampai dengan yang mencoba bunuh diri dengan berbagai cara. Na’udzubillah…….. seakan bertolak belakang dengan suara-suara sumbang; “UN mampu meningkatkan prestasi pelajar anak Negeri”.
“SITUBONDO, SENIN- Ujian Nasional tingkat SMA sudah tujuh bulan berlalu, tetapi bagi Edi Hartono (19), aib karena gagal UN masih terus terasa menyesakkan. Setelah mengurung diri di rumah neneknya, mantan siswa SMA di Besuki itu akhirnya bunuh diri,” -Kompas, Senin (1/12/08) dini hari-
Achhhhhhh,,,,,,,,,
Semakin stresss jika harus terus memikirkan itu.
“Allahummahdina fiiman haadain………………………!!!”
********
Sesekali Aku mengusap keningku sembari mencari posisi duduk yang lebih nyaman. Sinar mentari pagi yang sedari tadi menemani perlahan bergeser meninggi, sedangkan angin masih tetap dengan senyum damainya sedamai Iman dalam hati atau kasih berdasar ridha Ilahi. Kembali Aku meneruskan lamunan dalam goresan sejarahku.
UAN sekarang berubah nama menjadi UN (Ujian Nasional), Pelajaran yang di ujikan juga tidak lagi sama seperti Episodeku dulu tapi apapun nama yang dipakai  UN bagi saya hanya justru akan menimbukan berbagai masalah baru, masalah untuk masalah dan bukan solusi untuk masalah.
Aku merasakan ada semacam dilema berantai dalam system pendidikan kita saat ini khususnya ketika berbicara masalah UN. Lihat saja, guru seakan merasa dihantui dengan kepala sekolah jika seandainya ada siswa yang tidak lulus pada mata pelajaran yang diajarkan. Kepala Sekolah juga merasa takut dengan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) setempat seandainya siswa disekolahnya tidak lulus 100%, UPT juga seakan “terancam” oleh Kepala Dinas dimasing-masing kota atau kabupaten dan begitu seterusnya sampai pada tingkatan paling atas. Akibatnya banyak sekolah yang secara sadar maupun tidak sudah berani mematahkan nilai kejujuran yang sudah dibangun sekian lama hanya demi mendapatkan pradikat bahwa siswanya lulus 100%.
Ah kejamnya,,,,,,,,
“UN melawan Hantu Berantai”
Pada dasarnya evaluasi memang menjadi satu hal yang tidak bisa kita pandang sebelah mata ketika kita berdiskusi masalah apapun karena dengan evaluasi maka kita akan lebih merasa mantab untuk menentukan arah kemana kita akan meneruskan langkah. Tapi yang pelu menjadi catatan adalah evaluasi bukan asal evaluasi, evaluasi membutuhkan kejernihan hati serta kestabilan emosi, bukan produk dari emosi sesaat.  
************
Aku melihat jam dipergelangan tangan kananku tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 Wib. Terdengar perempuan memanggil dari dalam rumah,
“Nak, makan dulu,,, nanti diteruskan lagi…!!!”
Iya itu suara lembut Ibu, sungguh panggilan khas penuh kasih yang mampu dengan seketika menyejukkan hati. Emosi dari efek nostalgiaku seketika berubah menjadi senyum indah yang pernah kumiliki. Akupun tersenyum sambil menbalasnya.
“injjeh Buk,,, niki sampun mantun ketiknya..!!
Segera Aku memenutup layar miniku dan bergegas masuk kedalam rumah sambil bergumam dalam hati..
“Robbana aatinaa fiddunyaa hasanah wafil aakhirati khasanah waqinaa ‘adzaa bannaar”
************

5 komentar:

"dilema berantai" persis yg dikatakan "seseorang" saat pertama kali aq membagikan soal UN di sebuah sekolah...
Siapa membohongi siapa...UN bukan smakin meningkatkan mutu SDM di negara qt...bahkan justru seolah menjadi alat perusak karakter siswa ...oknum menjadikannya sebuah boneka yg dipaksa mengarsir lingkaran demi lingkaran kecil itu hanya demi ketakutan yg tak bertuan...hmmmmmm...benar kata anda "Dilema berantai"

Salam buat "seseorang" itu...... :-)

iyya nanti tak salamin....salam upu?? :-)

Posting Komentar